BABII
PENGARUH
BACAAN TEENLIT TERHADAP PERKEMBANGAN
PSIKOLOGIS SISWA KELAS X dan XI SMA EKA WIAJAYA
2.1 Pengertian Sastra
suatu hasil karya
baru dapat dikatakan memiliki nilai satra bila didalamnya terdapat kesepadanan
antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah dan susunannya
beserta isinya dapat menimbulkan perasaan baru dan kagum dihati pembacanya.
Bentuk dan isi
sastra harus saling mengisi yaitu dapat menimbulkan kesan yang mendalam dihati
para pembacanya sebagai peruwujudan nilai-nilai karya seni. Apabila isi tulisan
cukup baik tetapi cara pengungkapan bahasanya buruk karya tersebut tidak dapat
disebut sebagai cipta sastra begitu juga sebaliknya.
Sastra memiliki
beberapa jenis, yaitu:
1.
Sastra daerah, yaitu karya sastra yang
berkembang didaerah dan diungkapakan dengan menggunakan bahasa daerah.
2.
Sastra dunia, yaitu karya sastra milik dunia
yang bersifat universal.
3.
Sastra kontemporer, yaitu sastra masa kini yang
telah meninggalkan ciri-ciri khas pada masa sebelumnya.
4.
Sastra modern, yaitu sastra yang telah
terpengaruh oleh sastra asing khusunya sastra barat.
Contoh-contoh karya sastra yang sering kirta
lihat sehari-hari antara lain puisi, cerpen, novel dan drama. Masing-masing
karya sastra tersebut memiliki ciri khas dan juga isinya beragam tergantung
pada si pembuat karya sastra tersebut. Isinya biasanya berupa tentang kehidupan
nyata si pembuat, pandangan si pembuat, kehidupan social maupun kritik sosial.
Walaupun bermacam-macam isinya asalkan memiliki rasa keindahan itu dapat
digolongkan sebagai sebuah karya sastra.
2.1.1
Pembagian Sastra Indonesia
Karya sastra Indonesia
dapat dibagi menjadi 2 menurut zaman pembuatan karya sastra tersebut. Yang
pertama adalah karya sastra lama dan yang kedua adalah karya sastra baru.
2.1.1.1
Karya Sastra Lama
Karya sastra lama adalah karya sastra yang
lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu masyarakat yang masih memegang teguh
adat istiadat yang berlaku didaerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat
moral, pendidikan, nasihat dan adat istiadat serta ajaran-ajaran agama. Sastra
lama Indonesia ini memiliki ciri-ciri:
1.
Terikat oleh kebiasaan dan adat masyarakat
2.
Bersifat istanasentris/kratonsentris
3.
Bentuknya baku
4.
Biasanya bersifat anonim
Bentuk sastra lama Indonesia adalah pantun,
gurindam, syair, hikayat, dongeng dan tambo.
2.1.1.2
Karya Sastra Baru
Karya
sastra baru ini sangat berbeda dengan karya sastra lama. Karya sastra ini sudah
tidak dipengaruhi oleh adat istiadat kebiasaan masyarakat disekitarnya. Karya
sastra ini cenderung lebih dipengaruhi oleh karya sastra barat atau karya
sastra eropa. Sastra baru Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Ceritanya berkisar kehidupan masyarakat
2.
Bersifat dinamis (mengikuti perkembangan zaman)
3.
Mencerminkan kepribadian pengarangnya
4.
Nama si pembuat karya selalu tercantum
Jenis-jenis karya sastra baru antara lain:
2.1.1.2.1
Roman
Roman adalah bentuk prosa baru yang
berisikan cerita mengenai kehidupan manusia secara rinci. Para pelaku yang
mendukung cerita itu diceritakan mulai dari kecil, dewasa hingga meninggal.
Karena ceritanya sangat mendetail sekali, roman hampir seperti suatu cerita
kehidupan yang nyata. Contoh roman yang terkenal adalah siti nurbaya yang
menceritakan tentang kehidupan siti nurbaya.
2.1.1.2.2
Novel
Novel adalah bentuk karangan yang lebih
panjang dari cerpen, namun lebih pendek daripada roman. Kata novel berasal dari
bahasa Italia novella
yang berarti "sebuah kisah, sepotong berita" Selain itu Novel hampir sama seperti roman hanya saja
novel tidak menceritakan kehidupan tokohnya secara mendetail. Novel hanya
menceritakan sepenggal bagian kehidupan tokohnya yang luar biasa dan biasanya
mengubah kehidupan tokoh tersebut. Novel terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
novel anak-anak, teenlit, chiklit dan novel dewasa.
2.1.1.2.3
Cerpen
Cerpen merupakan cerita pendek. Sesuai
namanya cerpen berbentuk pendek dan tidak sepanjang roman maupun novel. Cerpen
hanya mengisahkan sebagian peristiwa yang dialami tokoh dalam cerpen tersebut.
Panjang cerpen hanya berkisar antara lima sampai sepuluh halaman saja.
2.1.1.2.4
Puisi Modern
Puisi modern adalah puisi yang sudah tidak
terikat dengan berbagai macam aturan. Puisi modern sudah tidak memiliki aturan
mengenai jumlah baris dalam satu bait, rima, ataupun tema. Isinya sangat bebas
tergantung oleh si pembuat puisi tersebut.
2.2 Novel dan Teenlit
2.2.1
Pengertian Novel Secara Keseluruhan
Dari sekian banyak bentuk sastra
seperti esei, puisi, novel, cerita pendek, drama, bentuk novel, cerita
pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para pembaca. Karya– karya modern
klasik dalam kesusasteraan, kebanyakan juga berisi karya– karya novel.
Novel merupakan bentuk karya sastra
yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran
daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat
dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat
demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang
mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel
serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan
dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut
lebih dari itu. Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti
menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk
penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan
para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai
belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk
menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi sosial, sedang novel
hiburan Cuma berfungsi personal. Novel berfungsi social lantaran novel yang
baik ikut membina orang tua masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan
tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau
tidak, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat
membacanya.
Banyak sastrawan yang memberikan yang
memberikan batasan atau definisi novel. Batasan atau definisi yang mereka
berikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga
berbeda-beda. Definisi – definisi itu antara lain adalah sebagai berikut :
- Novel adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo Drs).
- Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya social, moral, dan pendidikan (Dr. Nurhadi, Dr. Dawud, Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd, Dra. Abdul Roni, M. Pd).
- Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsure, yaitu : undur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang kedua saling berhubungan karena sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Drs. Rostamaji,M.Pd, Agus priantoro, S.Pd).
- Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsure-unsur intrinsic (Paulus Tukam, S.Pd)
2.2.2 Teenlit
Dari suku katanya dapat dibagi atas dua suku
kata dasar yang merupakan serapan dari bahasa Inggris yaitu teen dan literature. Teen berarti remaja dan literature yaitu sastra atau
tulisan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa teenlit adalah sebuah karya tulis atau sastra yang tema dan pangsa
pasarnya adalah para remaja.
Sebagai salah satu jenis dari novel populer,
teenlit mengalami masa kemajuan pada masa periode
tahun 2000-an. Berbagai jenis dan judul novel jenis ini banyak bermunculan
dengan peminatnya yang semakin bertambah dan juga produktivitasnya sangat
tinggi melebihi buku-buku lain.
Ciri-ciri dari novel adalah ceritanya yang
selalu mengangakat dan berkaitan dengan permasalahan remaja. Yang sering
diangkat adalah tentang masalah percintaan dan juga persahabatn dengan
intrik-intriknya yang tidak terlalu berat dan lebih mudah dimengerti oleh para
remaja dalam memahami ceritanya. Selain itu teenlit
biasanya menggunakan bahasa yang dapat dikatakan sebagai bahasa gaul dan juga
tokoh utamanya adaalh seorang gadis.
Hal ini menyebabkan banyak peminat teenlit berasal dari para remaja putri,
namun tidak menutup kemungkinan juga para remaja putra membacanya. Selain dari
para remaja, teenlit juga banyak
mendapat sambutan posirif dari masyarakat luas khusunya di Indonesia.
2.2.2.1 Teenlit
dan Chiklit Dimasa Kini
Ditilik dari
pengertian substansial yang mengarah pada aspek linguistik, chicklit terpahami sebagai sebuah karya
sastra yang bersifat populer. Konsekuensinya, cerita-cerita yang diangkat
adalah seputaran dinamika hidup orang-orang perkotaan, terkhusus para
perempuannya, yang identik dengan cara berpikir modernis, tak ketinggalan dalam
hal mode pakaian, rambut, jenis parfum yang disemprotkan, dan ukuran kelas
sosial lainnya yang menjurus pada kosmopolitanisme. Sedangkan teenlit lebih dipahami sebagai kemasan
cerita yang ditujukan buat kaum remaja, seperti halnya novel-novel remaja yang
belakangan ini membanjir di rak-rak toko buku.
Dari segi aspek
estetika kesastraan, fenomena chicklit dan teenlit
ini lebih mudah diterima masyarakat karena gaya bertuturnya yang ringan,
mengangkat cerita hal-hal yang sepele, sangat menghibur, dan biasanya ditulis
dengan teknik penceritaan semirip buku harian. Jadi, secara emosional jelas
membangkitkan keterlibatan dari para pembacanya, yang membuat para pembaca
tersebut seperti enggan berpindah ke buku lain jika belum menamatkan karena
cara penyajiannya yang renyah.
Sebelum
para penulis cerita dalam negeri menuangkan paradigma ceritanya dalam format
chicklit dan teenlit, penerbit
seperti Gramedia memang telah membombardir dengan chicklit dan teenlit terjemahan, seperti misalnya
pada buku-buku yang berjudul Confession of A Shopaholic, Can You Keep A
Secret?, dan Bridget Jones Diary yang juga telah dilayar-lebarkan.
Kini, di rak-rak
buku chicklit dan teenlit yang
tersebar di toko-toko buku, konsumen buku Indonesia dapat menjumpai buku-buku
dengan judul seperti Cintapuccino, Jilbab Spears, Aku vs Sepatu Hak Tinggi,
Because I Love You, Beautiful Stranger, Buku Harian yang Terlipat Cadar, God is
A Girl, Di Selubung Malam, dan masih banyak lagi. Kesemua buku-buku tersebut
pastilah menyumbang terhadap khazanah pengkayaan cerita dari berbagai
perspektif. Yang menarik adalah upaya eksperimentatif dan eksploratif seperti
yang dilakukan Novia Syahidah, yang menulis novel remaja Di Selubung Malam
dengan mempertaruhkan pemahamannya atas referensi dunia antropologi kebudayaan
Lombok di Nusa Tenggara Barat.
Paradigma dan Kualitas Cerita
paradigma dan kualitas cerita yang semestinya
disangga dalam penerbitan buku-buku chicklit dan teenlit. Memang, dari segi koridor kualifikasi buku, chicklit dan teenlit tetap tak bisa berkelit dari
cerita-cerita populis, yang dianggap tak bermuatan apa-apa, lagi pula tak
mempertaruhkan apa-apa. Tentu saja, persepsi seperti ini layak ditepis.
Sastrawan Agus
Noor yang merasakan nikmatnya buku best seller karena menulis buku Rendezvous:
Kisah Cinta yang tak Setia pernah secara tegas berpendapat bahwa sesungguhnya
sudah lama batas antara “sastra serius” dan “sastra pop” tak lagi jadi gangguan
dalam penciptaan karya sastra. Dengan sendirinya, persepsi fanatik yang
mengotak-kotakkan paradigma cerita tertentu sebagai sesuatu hal yang eksklusif
perlu dikritisi, perlu dikaji ulang.
Idealnya, dalam
format paradigma cerita chicklit dan teenlit
memang juga mempertaruhkan kualitas sehingga tak cuma dianggap slapstick atau
gimmick. Betapa pun usungan ideologi cerita yang dibawa telanjur dianggap
ngepop dan dangkal dari perspektif “sastra serius”, namun jika ada penulis
novel remaja yang menggarap paradigma cerita sebagaimana Novia Syahidah
menuliskannya dalam Di Selubung Malam tentu saja karya yang dihasilkannya
tetaplah tergolong serius jua.
Pertaruhan wacana
antropologis dan sosiologis yang berlatar Lombok pastilah memberi masukan
brillian terhadap pengembangan rasionalisasi cultural studies yang begitu
berharga dalam menyosialisasikan kekayaan warna lokal kebudayaan yang ada di
Indonesia. Karenanya, jika para penulis cerita chicklit dan teenlit menggarap tentang kehidupan
seorang perempuan kota metropolitan, misalnya, selayaknya jika tetap
memperhitungkan kualitas paradigma cerita sehingga tidak hanya kehidupan
kosmopolitanismenya yang tereksplorasi melainkan juga substansi pergeseran
kebudayaan masyarakatnya, dari agraris ke urban atau tentang shock culture-nya,
sebagai contoh konkret. Atau mungkin yang lain lagi.
Inilah tantangan
kreatif yang saya kira bakal sangat berarti dan jika dikembangkan akan lebih
memperkaya referensi kita tentang berbagai macam sub kultur yang berserak di
belahan daerah mana pun. Seperti contoh yang tak kalah menarik adalah sebuah
buku Belajar Nakal (Catatan Berantakan dari Kota Setengah Gila) yang ditulis
Adhe Ma’ruf. Meskipun kesannya ditulis dengan gaya yang seenaknya saja, namun
sebetulnya justru komprehensif dalam memberi gambaran tentang pergeseran kebudayaan
yang mengharu-biru kota Yogyakarta.
Data-data valid
yang menunjukkan tentang eksistensi Keraton Yogyakarta dan keberadaan sepeda
sebagai bagian the inner of soul masyarakat Yogyakarta terhadirkan dalam buku
itu sebagai referensi yang mencerdaskan. Belum lagi ketika terdeskripsikan
mengenai fenomena bahasa gaul Yogyakarta, bahasa slengekan seperti yang
terepresentasi dalam produk kaos Dagadu yang merambah sampai manca negara.
Tentulah para pembaca buku Belajar Nakal seperti mendapatkan anugerah pengetahuan
yang begitu subtil meskipun dengan cara penyajian sebagaimana yang harus
dipatuhi dalam koridor chicklit dan teenlit.
Gegar Identitas
Konon, masa remaja
selalu dianggap sebagai masa rawan karena mengemban risiko tentang pencarian
identitas. Jika persepsi ini diamini sebagai kebenaran, niscaya dengan
tersosialisasikannya kualitas paradigma cerita buku-buku chicklit dan teenlit yang kredibel justru membantu
upaya pematangan pencarian identitas.
Jelas, identitas
atau pilihan sikap hidup salah satunya ditentukan oleh seberapa jauh kualitas
bacaan yang dilahap seseorang. Karenanya, pada basis usia remajalah alternatif
pilihan identitas bisa didesakkan, dan mereka tinggal memilih identitas sesuai
dengan maksud dan kemantapan hati nurani.
Banyak buku chicklit
dan teenlit yang memberikan
alternatif pencarian identitas diri, dari yang maunya normatif sampai yang
memberontak. Buku-buku yang mengangkat cerita tentang kelompok musik Skin Head
atau sekelompok “geng bengal” seperti Simon Sam sepertinya akan layak dituduh
sebagai penghasut rasionalisasi pembentukan identitas diri yang tak lagi
memperhatikan moralitas. Padahal, tentu saja tak tepat vonis semacam itu.
Bagaimanapun, paradigma cerita yang kualitatif juga sangat relatif. Justru
keberjamakan paradigma cerita yang ada tinggal dicomot sebagai salah satu
pertimbangan pilihan identitas diri atau memang hanya berhenti sebagai
referensi pengetahuan semata.
Yang pasti, mesti
ada sikap kompromis, positivistik dalam menerima keberjamakan paradigma cerita
yang menggelontor dalam buku-buku chicklit dan teenlit kita hari ini. Karena, di sisi lain, adanya buku-buku
chicklit dan teenlit malah membuka
peluang sebagai rangsangan menulis di kalangan pelajar kita, yang oleh
sastrawan Taufiq Ismail pernah dikhawatirkan sebagai generasi yang rabun
sastra, karena kurangnya bacaan sastra yang mereka konsumsi.
Terpulang kepada
para remaja kita, apakah memang tergerak untuk membaca dan kemudian ikut
menulis apa pun hasilnya? Ayo, bangun, tengoklah buku-buku chicklit dan teenlit, ah, mestinya kalian berucap,
“Wow, amazing! Gampang sekali aku bikin seperti itu. Aku bisa! Aku bisa!”
Sebuah ucapan yang tak harus terteriakkan dengan mengepalkan tangan, karena
juga bisa cukup tergumamkan dalam hati.
2.3 Psikologis Remaja
Pada umumnya remaja didefinisikan
sebagai masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara
umur 12 tahun sampai 21 tahun.
Setiap tahap perkembangan manusia biasanya diikuti dengan
berbagai tuntutan psikologis yang harus dipenuhi, demikian pula pada masa
remaja. Sebagian besar pakar psikologi setuju, bahwa jika berbagai tuntutan
psikologis yang muncul pada tahap perkembangan manusia tidak berhasil dipenuhi,
maka akan muncul dampak yang secara signifikan dapat menghambat kematangan
psikologisnya di tahap-tahap yang lebih lanjut. Berikut ini merupakan berbagai
tuntutan psikologis yang muncul di tahap remaja, berdasarkan pengalaman penulis
selama menjadi pendidik.
Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan
dapat memanfaatkannya secara efektif
Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya.
Hal tersebut terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan
orang lain atau tokoh tertentu. Misalnya si Dewi merasa kulitnya tidak putih
seperti bintang film, maka Dewi akan berusaha sekuat tenaga untuk memutihkan
kulitnya. Perilaku Dewi yang demikian tentu menimbulkan masalah bagi dirinya
sendiri dan orang lain. Mungkin Dewi akan selalu menolak bila diajak ke pesta
oleh temannya sehingga lama-kelamaan Dewi tidak memiliki teman, dan sebagainya.
Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional
dari orang tua
Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering
disertai perilaku “pemberontakan” dan melawan keinginan orang tua. Bila tugas
perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat
diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di
luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja memiliki kebebasan
emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya
yang senasib dengannya. Jika orang tua tidak menyadari akan pentingnya tugas
perkembangan ini, maka remaja Anda dalam kesulitan besar. Hal yang sama juga
dilakukan remaja terhadap orang-orang ‘yang dianggap sebagai pengganti orang
tua’, guru misalnya.
Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis
kelamin
Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan
pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus
dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja
yang sukses memasuki tahap perkembangan ini. Ada sebagaian besar remaja yang tetap tidak
berani bergaul dengan lawan jenisnya sampai akhir usia remaja. Hal tersebut
menunjukkan adanya ketidakmatangan dalam perkembangan remaja tersebut.
Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja
ditanya mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat
menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang
dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut belum mengenal
kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa
remaja ini tentu saja akan menjadi masalah untuk perkembangan selanjutnya (masa
dewasa atau bahkan sampai tua sekalipun).
Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala
nilai dan norma
Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui
proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya terutama dari tokoh
masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan
norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi
seperti siapakah “aku” ?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam
mengendalikan gejolak dorongan dalam dirinya. Maka penting bagi orang tua dan
orang-orang ‘yang dianggap sebagai pengganti orang tua’ untuk mampu menjadikan
diri mereka sendiri sebagai idola bagi para remaja tersebut.
Selain
berbagai tuntutan psikologis perkembangan diri, kita juga harus mengenal
ciri-ciri khusus pada remaja, antara lain:
- Pertumbuhan Fisik yang sangat Cepat
- Emosinya tidak stabil
- Perkembangan Seksual sangat menonjol
- Cara berfikirnya bersifat kausalitas (hukum sebab akibat)
- Terikat erat dengan kelompoknya
Secara
teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja,
tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan
secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini adalah masa
peralihan.
2.3.1 Periode Masa Puber usia 12-18 tahun
A. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak
ke masa awal pubertas. Cirinya:
- Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi
- Anak mulai bersikap kritis
B. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:
- Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya
- Memperhatikan penampilan
- Sikapnya tidak menentu/plin-plan
- Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib
C. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa
pubertas ke masa adolesen. Cirinya:
- Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya
- Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria
2.3.2 Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun
Merupakan masa akhir remaja. Beberapa
sifat penting pada masa ini adalah:
- perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis
- mulai menyadari akan realitas
- sikapnya mulai jelas tentang hidup
- mulai nampak bakat dan minatnya
Dengan
mengetahui berbagai tuntutan psikologis perkembangan remaja dan ciri-ciri usia
remaja, diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami
hal-hal yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan
dan dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja
akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya.
Permasalahan yang sering muncul sering kali disebabkan
ketidaktahuan para orang tua dan pendidik tentang baerbagai tuntutan psikologis
ini, sehingga perilaku mereka seringkali tidak mampu mengarahkan remaja menuju
kepenuhan perkembangan mereka. Bahkan tidak jarang orang tua dan pendidik
mengambil sikap yang kontra produktif dari yang seharusnya diharapkan, sehingga
semakin mengacaukan perkembangan diri para remaja tersebut. Sebuah PR yang
panjang bagi orang tua dan pendidik, yang menuntut mereka untuk selalu
mengevaluasi sikap yang diambil dalam pendidikan remaja yang dipercayakan
kepada mereka. Dengan demikian, diharapkan para orang tua dan pendidik dapat
memberikan rangsangan dan motivasi yang tepat untuk mendorong remaja menuju
pada kepenuhan dirinya.
Kevin Septiawan
Rika Aprilia
Elsa Pohhiby Wulandari
Stephanus Sutrisno Putra
SMA Eka Wijaya 2011/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar